Senin, 20 April 2015

Angket

RVI RISNAINI 1401015105

Definisi Angket
Sutoyo Anwar (2009: 168) mendefinisikan bahwa angket atau kuesioner merupakan sejumah pertanyaan atau pernyataan tertulis tentang data faktual atau opini yang berkaitan dengan diri responden, yang dianggap fakta atau kebenaran yang diketahui dan perlu dijawab oleh responden. Sedangkan Gantina Komalasari, dkk (2011: 81) mendefinisikan angket sebagai suatu alat pengumpul data dalam asesmen non tes, berupa serangakaian pertanyaanyang diajukan kepada responden (peserta didik, orang tua atau masyarakat).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa angket merupakan angket serangkat alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dalam bentuk pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden dalam hal ini adalah peserta didik, orang tua atau masyarakat.
Angket dikenal juga dengan sebutan kuesioner. Alat asesmen ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian (Komalasari, 2011: 81), yaitu: (1) judul angket, (2) pengantar yang berisi tujuan atau petunjuk pengisian angket, dan (3) item-item pertanyaan, bisa juga opini atau pendapat, dan fakta.
 
Fungsi Angket
Angket disusun dengan tujuan untuk menghimpun sejumlah informasi yang relevan dengan keperluan bimbingan dan konseling, seperti identitas pribadi peserta didik, keterangan tentang keluarga, riwayat kesehatan, riwayat pemdidikan, kebiasaan belajar di rumah, hobi atau informasi lainnya. Data yang diperolah berfungsi untuk: (1) mengumpulkan informasi sebagai bahan dasar dalam rangka penyususnan program, (2) untuk menjamin validitas informasi yang diperoleh dengan metode lain, (3) evaluasi prorgam BK, dan (4) untuk mengambil sampling sikap/pendapat dari responden (Gantina Komalasari, 2011: 81)
 
Jenis-Jenis Angket
Menurut Gantina Komalasari (2011: 82), angket dapat dibedakan berdasarkan tiga jenis, yaitu: (1) bedasarkan bentuk pertanyaan atau pernyataan, (2) berdasarkan respondennya (sumber data), dan (3) berdasarkan strukturnya.
Berdasarkan bentuk pertanyaan atau pernyataan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) angket terbuka, (open questionaire) merupakan bentuk angket yang pertanyaan atau pernyataannya memberi kebebasan kepada responden untuk memberikan jawaban atau pendapatnya sesuai dengan keinginan mereka, (2) angket tertutup (close questionaire) adalah angket yang pertanyaannya atau pernyataannya tidak memberi kebebasan kepada responden untik menjawab sesuai pendapat dan keinginan mereka, dan (3) angket semi terbuka (semi open qeustinaire) yaitu bentuk angket yang pertanyaannya atau pernyataannya berbentuk tertutup, tetapi diikuti pertanyaan terbuka.
Dilihat dari sumber datanya, angket dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) angket langsung, adalah bil angket itu langsung diberikan kepada responden yang ingin diselidiki, jawaban diperoleh dari sumber pertama tanpa menggunakan perantara, dan (2) angket tidak langsung, yaitu bila angket disampaikan kepada orang lain yang dimintai pendapat tentang kondisi orang lain, jawaban tersebut diperoleh dengan melalui perantara sehingga jawabannya tidak dari sumber pertama.
Dilihat dari strukturnya, angket dibedakan menjadi 2 pula yaitu: (1) angket berstruktur, yaitu angket yang bersifat tegas, konkret dengan pertanyaan atau pernyataan yang terbatas dan menghendaki jawaban yang tegas dan terbatas pula, dan (2) angket tidak berstruktur, dipergunakan apabila konselor menginginkan uraian lengkap dari subyek tentang sesuatu hal, di mana diminta uraian yang terbuka dan panjang lebar, disampaikan dengn mengajukan pertanyaan bebas.
 
Kelebihan dan Kekurangan Angket
Seperti instrumen non tes yang lainnya, angket pula memiliki kelebihan dan kekurngannya. Oleh karena itu, penggunaannya harus iintegrasikan dengan alat asesmen lainnya, sehingga konselor dapat menemukan info yang relevan terhadap kondisi subjek yang akan diamati.
Gantina Komalasari (2011: 86-87) menjelaskan bahwa terdapat kelihan dan kelemahan dari angket. Berikut kelebihan dari angket, antara lain: (1) angket merupakan metode praktis karena dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data kepada sejumlah responden dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat, (2) merupakan metode yang ekonomis dari segi tenaga yang dibutuhkan antara lain tidak membutuhkan kehadiran konselor, (3) setiap responden menerima sejumlah pertanyaan yang sama, (4) pada angket tertutup memudahkan tabulasi hasil bagi konselor, (5) pada angket terbuka responden mempunyai kebebasan untuk memberikan keterangan, (6) responden mempunyai waktu cukup untuk menjawab pertanyaan, (7) pengaruh subjektif dapat dihindarkan, (8) pengisian angket dapat dibuatkan anonim sehingga responden bebas, jujur dan tidak malu-malu menjawab.
Sedangkan kekurangan dari angket antara lain: (1) responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak dijawab, padahal sukar diulangi untuk diberikan kembali kepada responden, (2) sulit untuk mendapat jaminan bahwa responden akan memberikan jawaban yang tepat, (3) penggunaannya terbatas hanya pada responden yang bisa membaca dan menulis, (4) pertanyaan atau pernyataan dalam angket dapat saja ditafsirkan salah oleh responden, dan (5) sulit mendapatkan jaminan bahwa semua responden akan mengembalikan semua angket yang diberikan.
 
Strategi Pengolahan Data Angket
Langkah Penyusunan Angket
Berikut beberapa langkah penyusunan angket menurut Komalasari (2011: 85-86), yaitu:
Menentukan tujuan yang akan dicapai dari penggunaan angket. Misal, angket disusun dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan belajar peserta didik di rumah, ingin mengetahui keterkaitan peserta didik terhadap tugas, ingin mengetahui kondisi keluarga, dan sebagainya.
Mengidentifikasi variabel yang akan menjadi materi angket, misal persepsi peserta didik tentang pengasuhan orang tua, kebiasaan belajar, minat kegiatan ekstrakurikulerdan sebagainya, kemudian dijabarkan dalam kisi-kisi.
Menyusun kalimat-kalimat pertanyaan atau pernyataan yang mewakili setiap indikator sebagaimana yang telah dijabarkan dalam kisi-kisi. Untuk menyusun pertanyaan atau pernyataan dalam angket, beberapa pedoman di bawah ini perlu diperhatikan konselor: (a) menggunakan kata-kata yang tidak mengandung makna ganda (ambigu), (b) susunan kalimat hendaknya sederhana tetapi jelas, (c) menghindari pemakaian kata yang tidak ada gunanya, (d) menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu, (e) mencantumkan kemungkinan jawaban sesuai dengan kebutuhan data dan konstruk teori yang digunakan, (f) hindarkan kata-kata yang bersifat sugestif dan kata yang bersifat negatif, dan (g) pergunakan kata-kata yang netral, tidak menyinggung perasaan dan harga diri responden.
Lengkapi angket dengan identitas responden jika diperlukan, dan pendahuluan yaitu berupa tujuan angket tersebut dan petunju pengisiannya.
Untuk memperoleh angket dengan hasil baik, maka dapat dilakukan proses uji coba. Sampel yang diambil dalam uji coba haruslah sampel dari populasi dimana angket akan diberikn. Situasi uji coba juga harus sama, yaitu apakah angket harus diisi saat itu juga atau boleh dibawa pulang, dan dikumpulkan kembali pada waktu yang telah ditentukan.
 
Langkah Pengadministrasian Angket
Sofyan Willis (2011: 32) memaparkan bahwa dalam upaya mengembangkan potensi siswa dan membantu pemecahan masalah yang dihadapinya, perlu adanya kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang terorganisir, terprogram dan terarah.
Salah satu kegiatan dalam upaya pelayanan bimbingan dan konseling terhadap siswa adalah kegiatan need asessment atau analisis kebutuhan siswa yang dimaksudkan sebagai landasan pembuatan program layanan BK yang sesuai kebutuhan.
Salah satu asesmen dalam teknik non tes yang menjadi acuan penelitian di sini adalah teknik angket.
Berbicara mengenai angket, tentu ada langkah mengadministrasiannya. Pengadministrasian angket dalam pelayanan bimbingan dan konseling memiliki beberapa tahapan yaitu: (1) tahapan persiapan, yang meliputi penentuan kelompok respondenn, mempersiapkan angket sesuai tujuan dan membuat satuan layanan asesmen, (2) langkah pelaksanaan, yang meliputi memberikan verbal setting (menjelaskan akan tujuan, manfaat, dan kerahasiaan data), membagikan angket, menjelaskan kapan waktu pengisian angket, mengumulkan kembali angket setelah selesai diisi, dan (3) tahapan penglahan dan analisis hasil, yang meliputi tahap pemeriksaan kelengkapan hasil angket, dan membuat tabulasi hasil serta melakukan analisis.
 
Langkah Pengolahan dan Analisis Hasil Angket
Pengolahan dan analisis hasil angket memerlukan kreatifitas dari konselor atau guru BK itu sendiri. Kreatifitas itu dapat berupa kecerdasan dalam pengolahan hasil angket serta bagaimana cara menganalisisnya. Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel dengan melakukan eksperimen masalah kecerdasan sosial di sekolah A khususnya di kelas XI-A (sebagai contoh) di mana terdapat 20 siswa dalam kelas tersebut. Kelas A menunjukkan adanya indikasi siswa yang kecerdasan sosialnya tinggi dengan persentase 10%, 30% dan 60% keceerdasan sosialnya.

PENILAIAN ASESMEN BK

RVI RISNAINI 1401015105


PENILAIAN ASESMEN BK

A. Pengertian Asesmen
Asesmen merupakan cara salah satu kegiatan pengukuran. Dalam konteks bimbingan konseling, asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling yang harus dilakukan konselor sebelum, selama, dan setelah konseling tersebut dilaksanakan/berlangsung.  Asesmen merupakan salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling (baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah maka asesmen dalam bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses terapi maupun semua kegiatan bimbingan/konseling itu sendiri. Asesmen dilakukan untuk menggali dinamika dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan asesmen dalam bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang memungkinkan bagi konselor untuk menentukan masalah dan memahami latar belakang serta situasi yang ada pada masalah klien. Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan setelah konseling berlangsung dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi konseli. Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat digunakan sebagai sebuah terapi untuk menyelesaikan masalah konseli.
Asesmen merupakan kegiatan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan/kompetensi yang dimiliki oleh konselor dalam memecahkan masalah. Asesmen yang dikembangkan adalah asesmen yang baku dan meliputi beberapa aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor dalam kompetensi dengan menggunakan indikator-indikator yang ditetapkan dan dikembangkan oleh guru BK/konselor sekolah. Asesmen yang diberikan kepada konseli merupakan pengembangan dari area kompetensi dasar pada diri konseli yang akan dinilai, yang kemudian akan dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator. Pada umumnya asesmen bimbingan konseling dapat dilakukan dalam bentuk laporan diri, performance test ,tes psikologis, observasi, wawancara, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, asesmen merupakan hal yang penting dan harus dilakukan dengan berhati-hati sesuai dengan kaidahnya. Kesalahan dalam mengidentifikasi masalah karena asesmen yang tidak memadai akan menyebabkan tritmen gagal; atau bahkan dapat memicu munculnya konsekuensi dari tritmen yang merugikan diri konseli. Meskipun menjadi dasar dalam melakukan tritmen pada konseli, tidak berarti konselor harus menilai (toassess) semua latar belakang dan situasi yang dihadapi klien pada saat itu jika tidak perlu. Kadangkala konselor menemukan bahwa ternyata “hidup” konseli sangat menarik. Namun demikian tidaklah efisien dan tidak etis untuk menggali semuanya selama hal tersebut tidak relevan dengan tritmen yang diberikan untuk mengatasi masalah konseli. Karena itu, setiap guru pembimbing/konselor perlu berpegang pada pedoman pertanyaan sebelum melakukan asesmen; yaitu “Apa saja yang perlu kuketahui mengenai klien?”. Hal itu berkaitan dengan apa saja yang relevan untuk mengembangkan intervensi atau tritmen yang efektif, efisien, dan berlangsung lama bagi konseli.
B. Fungsi Asesmen
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ada beberapa fungsi asesmen, diantaranya adalah untuk:
1. menstimulasi konseli maupun konselor mengenai berbagai isu permasalahan
2. menjelaskan masalah yang senyatanya
3. memberi alternatif solusi untuk masalah
4. menyediakan metode untuk dengan memperbandingkan alternatif sehingga dapat
diambil keputusan
5. memungkinkan evaluasi efektivitas konseling
Selain itu, asesmen juga diperlukan untuk memperoleh informasi yang membedakan antara apa ini ( what is) dengan apa yang diinginkan (what is desired ) sesuai dengan kebutuhan dan hasil konseling. Asesmen memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan perencanaan dan pelaksanaan model-model pendekatan konseling. Jika kedua komponen tersebut didesain dengan pendekatan “client centered” atau “bottom up”,
asesmen akan mengarah pada inovasi. Hal ini memiliki makna bahwa asesmen tidak hanya berorientasi pada hasil/produk akhir, tetapi justru akan lebih terfokus pada proses konseling, yaitu mulai dari membuka konseling sampai dengan mengakhiri konseling; atau setidak-tidaknya akan ada keseimbangan antara proses konseling dengan hasil konseling. Dengan demikian asesmen akan benar-benar bisa memenuhi kriteria objektivitas dan keadilan, sehingga keputusan yang akan diambil oleh konseli dapat benar-benar sesuai dengan kemampuan diri konseli itu sendiri. Asesmen yang tidak dilakukan secara objektif, akan berpengaruh pada pelayanan konseling oleh konselor sekolah/ guru bimbingan konseling. Hal ini akan berakibat tidak baik pada diri konseli, bahkan terhadap konselor itu sendiri untuk jangka panjang maupun jangka pendek.Asesmen dalam bimbingan dan konseling adalah asesmen yang berbasis individu dan berkelanjutan. Semua indikator bukan diukur dengan soal seperti dalam pembelajaran, tetapi diukur secara kualitatif, kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui kemampuan konseli dalam mengambil keputusan pada akhir konseling, dalam melaksanakan keputusan setelah konseling, serta melihat kendala/masalah yang dihadapi konseli dalam proses konseling maupun kendala dalam melaksanakan keputusan yang telah ditetapkannya.
C. Ruang lingkup dalam asesmen (assesment need areas) dalam bimbingan dan
    konseling
1.Systems assessment,
yaitu asesmen yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai status dari suatu sistem, yang membedakan antara apa ini (what is it ) dengan apa yang diinginkan (what is desired ) sesuai dengan kebutuhan dan hasil konseling; serta tujuan yang sudah dituliskan/ditetapkan atau outcome yang diharapkan dalam konseling.
2.Program planning
, yaitu perencanaan program untuk memperoleh informasi-informasi yang dapat
digunakan untuk membuat keputusan dan untuk menyeleksi bagian- bagian program yang efektif dalam pertemuan-pertemuan antara konselor dengan konselee; untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan khusus pada tahap pertama. Di sinilah muncul fungsi evaluator dalam asesmen, yang memberikan informasi-informasi nyata yang potensial. Hal inilah yang kemudian membuat asesmen menjadi efektif, yang dapat membuat konselee mampu membedakan latihan yang dilakukan pada saat konseling dan penerapannya dikehidupannyata dimana konseli harus membuat suatu keputusan, atau memilih alternatif-altenatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalahnya.
3.Program Implementation
, yaitu bagaimana asesmen dilakukan untuk menilai pelaksanaan program dengan memberikan informasi-informasi nyata; yang menjadikan program-program tersebut dapat dinilai apakah sesuai dengan pedoman.
4. Program Improvement,
dimana asesmen dapat digunakan dalam dalam perbaikan program, yaitu yang berkenaan dengan:
(a) evaluasi terhadap informasi-informasi yang nyata,
(b) tujuan yang akan dicapai dalam program,
(c) program-progam yang berhasil, dan
(d) informasi-informasi yang mempengaruhi proses pelaksanaan program-program
yang lain.
5. Program certification, yang merupakan akhir kegiatan. Menurut Center for the Study
of Evaluation (CSE), program sertifikasi adalah suatu evaluasi sumatif, hal ini memberikan makna bahwa pada akhir kegiatan akan dilakukan evaluasi akhir sebagai dasar untuk memberikan sertifikasi kepada konseli. Dalam hal ini evaluator berfungsi pemberi informasi mengenai hasil evaluasi yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan.
D. Tujuan Asesmen
Hood & Johnson (1993) menjelaskan bahwa asesmen dalam bimbingan dan konseling mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1.Orientasi masalah, yaitu untuk membuat konseli mengenali dan menerima permasalahan yang dihadapinya, tidak mengingkari bahwa ia bermasalah
2.Identifikasi masalah, yaitu membantu baik bagi konseli maupun konselor dalam mengetahui masalah yang dihadapi konseli secara mendetil
3 Memilih alternatif solusi dari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan oleh konseli
4.Pembuatan keputusan alternatif pemecahan masalah yang paling menguntungkan dengan memperhatikan konsekuensi paling kecil dari beberapa alternatif tersebut
5.Verifikasi untuk menilai apakah konseling telah berjalan efektif dan telah mengurangi beban masalah konseli atau belum. Selain itu, asesmen digunakan pula untuk menentukan variabel pengontrol dalam permasalahan yang dihadapi konseli, untuk memilih/mengembangkan intervensi terhadap area yang bermasalah, atau dengan kata lain menjadi dasar untuk mendesain dan mengelola terapi, untuk membantu mengevaluasi intervensi, serta untuk menyediakan informasi yang relevan untuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul untuk setiap fase konseling.Pada asesmen berbasis individu, asesmen dipakai untuk mengumpulkan informasi asli atau autentik mengenai konseli sehingga diperoleh informasi menyeluruh tentang diri konseli secara utuh, dan untuk memberikan penilaian yang objektif. Selain itu, secara terperinci asesmen berbasis individu bertujuan untuk:
1.Mengembangkan cara konseli merespon (verbal dan/atau non verbal) pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh guru BK.
2.Melatih konseli untuk berpikir dalam upaya pemecahan masalah
3.Membentuk kemandirian konseli dalam berbagai masalah atau membentuk individu menjad mandiri.
4.Melatih konseli mengemukakan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan. melalui proses konseling.
5.Membentuk individu yang terbuka dalam berbagai hal, termasuk membuka diri dalam konseling
6.Membina kerjasama yang baik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
7.Membelajarkan konseli untuk menilai terhadap cara melaksanakan keputusannya secara konsekuen. Asesmen berbasis individu akan mengukur seluruh kemampuan konseli, baik keterampilan personal( personal skills), keterampilan social ( social skills)
,keterampilan memecahkan masalah ( problem solving skills) , dan keterampilan memilih alternative ( Choice alternative skills). Jika hal ini dilakukan maka asesmen akan dapat:
(a) membantu sekolah dan guru dalam melaksanakan pembelajaran karena konseli sebagai siswa dapat
berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran,
(b) memudahkan guru dalam pembelajaran di kelas karena siswa tidak banyak masalah,
(c) memudahkan guru bimbingan dan konseling dalam melaksanakan tugas bimbingan dan konseling khususnya dalam konseling,
(d) membantu kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
(e) mendorong konseli untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling dalam berbagai hal (seperti mendapatkan informasi studi, pekerjaan, dan memecahkan masalah (masalah pribadi, sosial, belajar, dan karir), dan
(f) menyajikan informasi berkesinambungan tentang kegiatan kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Dalam tiap fase konseling, asesmen (menurut Hood & Johnson, 1993) mempunyai tujuan yang bisa jadi berbeda-beda. Hal ini terlihat dalam tabel berikut ini:
Fase tritmen
Pertanyaan yang ditujukan bagi asesmen
Skrining awal
•Apakah konseli tepat untuk layanan ini?
•Jika tidak tepat, dirujuk kemana?
Identifikasi dan
analisis
masalah

Apa masalah konseli ?
•Apakah masalah konseli mengundang masalah tritmen?
•Faktor apa yang membuat masalah konseli terus berlangsung?
Seleksi tritmen
•Alternatif tritmen apa yang membuat konseli nyaman?
•Alternatif tritmen apa yang membuat lingkungan konseli nyaman?
•Alternatift ritmenapa yang membuat terapis nyaman?
•Tritmen mana yang optimum dalam menyelesaikan masalah konseli?
Evaluasi tritmen
Apakah evaluasi tritmen dapat dipercaya?
•Perubahan apa yang terjadi pada masalah dan perilaku?
•Apakah perubahan terjadi karena tritmen?
•Biaya apa yang harus dikeluarkan untuk tritmen?
•Apakah tritmen harus dihentikan atau dilanjutkan
Apapun bentuk dan jenis asesmen yang dilakukan, hal ini tetap menuntut suatu perencanaan, termasuk pada saat melakukan analisis. Dengan demikian maka akan diperoleh alat ukur atau instrumen yang benar-benar dapat diandalkan (valid) dan dapat dipercaya (reliabel) dalam mengukur apa yang seharusnya diukur.  keberhasilan suatu asesmen, misalnya mempersiapkan instrumen, tempat, dan peralatan lain yang diperlukan dalam pelaksanaan asesmen. Apalagi jika pelaksana asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri, misalnya karena instrumen yang digunakan untuk asesmen adalah tes psikologis (tes intelegensi inventori kepribadian, tes minat jabatan, dan sebagainya). Dalam hal ini apabila guru BK tidak memiliki kewenangan, maka guru BK dapat minta bantuan orang yang memiliki kewenangan.

PENGERTIAN ASAS-ASAS BK

Afifah Thoyyibah BK-2A


A. Pengertian Asas Bimbingan dan Konseling
Asas berarti dasar (sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi), dan hukum dasar.
Asas-asas bimbingan dan konseling merupakan ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling
B. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan profesional. Pekerjaan profesional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisien dan efektivitas proses dan hasil-hasilnya. Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan itu. Apabila asas-asas itu diikuti dan terselenggara dengan baik, sangat diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan. Sebaliknya, apabila asas-asas itu diabaikan atau dilanggar sangat dikhawatirkan kegiatan yang terlaksana itu justru berlawanan dengan tujuan bimbingan dan konseling, bahkan akan dapat merugikan orang-orang yang terlibat di dalam pelayanan, serta profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Asas-asas yang dimaksud tersebut antara lain:
1. Asas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan  klien (peserta didik) kepada konselor (guru pembimbing) tidak boleh disampaikan kepada orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau tidak layak diketahui oleh orang lain. Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka penyelenggara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak, terutama penerima bimbingan klien, sehingga mereka akan mau memanfaatkan jasa bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan klien, sehingga akibatnya pelayanan bimbingan tidak dapat tempat di hati klien dan para calon klien. Mereka takut meminta bantuan sebab khawatir masalah dan diri mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi, maka tamatlah pelayanan bimbingan dan konseling ditangan konselor yang tidak dapat dipercaya oleh klien itu.
2. Asas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak si terbimbing atau klien maupun dari pihak konselor. Klien diharapkan secara sukarela dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa menyampaikan masalah yang dihadapinya serta mengungkapkan segenap fakta, data, dan seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor. Konselor hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain konselor memberikan bantuan dengan ikhlas.
3. Asas Keterbukaan
Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan, baik keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari klien. Keterbukaan ini bukan hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari luar, tetapi juga diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri, sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan klien dapat dilaksanakan. 
Keterusterangan dan kejujuran klien akan terjadi jika klien tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan dan kesukarelaan. Maksudnya, klien telah betul-betul mempercayai konselornya dan benar-benar mengharapkan bantuan dari konselornya. Lebih jauh keterbukaan akan semakin berkembang apabila klien tahu bahwa konselornya terbuka.
Keterbukaan disini ditinjau dari dua arah. Dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau membuka diri sendiri, sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh orang lain (konselor) dan keduanya mau membuka diri dalam arti mau menerima saran-saran dan masukan lainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor, keterbukaan terwujud dengan ketersediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan klien dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu dikehendaki oleh klien. Dalam hubungan yang bersuasana seperti itu masing-masing pihak bersifat transparan (terbuka) terhadap pihak lain. 
4. Asas Kekinian
Masalah individu yang ditanggulangi ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan bukan masalah yang sudah lampau dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami dimasa yang akan datang. Apabila ada hal-hal tertentu yang menyangkut masalah lampau dan/atau masalah yang akan datang yang perlu dibahas dalam upaya bimbingan yang sedang diselenggarakan itu, pembahasan tersebut hanyalah merupakan latar belakang dan/atau latar depan dari masalah yang dihadapi sekarang, sehingga masalah yang sedang dialami dapat terselesaikan. Dalam usaha yang bersifat pencegahan, pada dasarnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah “apa yang perlu dilakukan sekarang”, sehingga kemungkinan yang kurang baik di masa datang dapat dihindari.
Asas kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda pemberian bantuan. Jika diminta bantuan oleh klien atau jelas-jelas terlihat misalnya adanya siswa yang mengalami masalah, maka konselor hendaklah segera memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda memberi bantuan dengan berbagai dalih. Konselor harus mendahulukan kepentingan klien daripada yang lain-lain. Jika dia benar-benar memiliki alasan yang kuat untuk tidak memberikan batuannya kini, maka konselor harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa penundaan yang dilakukan itu justru untuk kepentingan klien. 
5. Asas Kemandirian
Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan klien dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor. Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan ciri-ciri pokok mampu:
a. Mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya.
b. Menerima diri sendiri secara positif dan dinamis.
c. Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri.
d. Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu.
e. Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat, dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam kehidupan sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling dan hal itu disadari baik oleh konselor maupun klien. 
6. Asas Kegiatan
Usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila klien melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling. Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan harus dengan kerja giat dari klien sendiri. Konselor hendaklah membangkitkan semangat klien, sehingga klien mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
  Asas ini merujuk pada pola konseling “multidimensional” yang tidak hanya mengandalkan transaksi verbal antara klien dengan konselor. Dalam konseling yang berdimensi verbal pun asas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien mengalami proses konseling dan aktif pula melaksanakan atau menerapkan hasil-hasil konseling. 
Asas bimbingan dan konseling ini menghendaki agar klien yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/ kegiatan bimbingan. Dalam hal ini konselor perlu mendorong klien untuk aktif dalam setiap pelayanan/ kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya
7. Asas Kedinamisan
Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tidaklah sekedar mengulang hal yang lama, yang bersifat menonton, melainkan perubahan yang selalu menuju ke suatu pembaharuan, suatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan klien yang dikehendaki. Asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan menjadi ciri-ciri dari proses konseling dan hasil-hasilnya.
Asas bimbingan dan konseling ini menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang, serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8. Asas Keterpaduan
Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan berbagai aspek kepribadian klien. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalau keadaannya tidak seimbang, serasi, dan terpadu justru akan menimbulkan masalah. Disamping keterpaduan pada diri klien, juga harus diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan. Hendaknya aspek layanan yang satu jangan sampai tidak serasi dengan aspek layanan yang lain.
Untuk terselenggaranya asas keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien. Kesemuanya itu dipadukan dalam keadaan serasi dan saling menunjang dalam upaya layanan bimbingan dan konseling.   
Asas bimbingan dan konseling ini menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/ kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
9. Asas Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/ negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini diterapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi dan layanan harus sesuai dengan norma yang ada. Demikian pula prosedur, teknik, dan peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksudkan. Bukanlah layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan jika isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan norma-norma yang dimaksudkan itu.
Ditilik dari permasalahan klien barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya klien mengalami masalah melanggar norma tertentu), tetapi justru dengan pelayanan bimbingan dan konselinglah tingkah laku yang melanggar norma itu diarahkan kepada lebih bersesuaian dengan norma. Lebih jauh, layanan  meningkatkan kemampuan klien memahami, menghayati, dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10. Asas Keahlian
Usaha bimbingan dan konseling perlu dilakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik, dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya, sehingga dengan itu dapat dicapai keberhasilan pemberian layanan. Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus dididik untuk pekerjaan itu. 
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktek konseling secara baik. Keprofesionalan konselor harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11. Asas Alih Tangan
Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, asas alihtangan jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, tetapi individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim individu kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Disamping itu asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling hanya mengenai masalah-masalah individu sesuai dengan kewenangan petugas yang bersangkutan dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang berwenang untuk itu. Hal yang terakhir itu secara langsung mengacu kepada bimbingan dan konseling hanya memberikan kepada individu-individu yang pada dasarnya normal (tidak sakit jasmani maupun rohani) dan bekerja dengan kasus-kasus yang terbebas dari masalah-masalah kriminal maupun perdata.
Konselor dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain, dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/ praktik dan lain-lain.
12. Asas Tut Wuri Handayani
Asas tut wuri handayani, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana yang mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada klien untuk maju. Demikian juga segenap layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan hendaknya disertai dan sekaligus dapat membangun suasana pengayoman, keteladanan, dan dorongan seperti itu. 
Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan klien. Lebih-lebih di lingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso”.
Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan menghadap pada konselor saja, tetapi diluar hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya manfaat pelayanan bimbingan dan konseling itu.
Selain asas-asas tersebut saling terkait satu sama lain, segenap asas itu perlu diselenggarakan secara terpadu dan tepat waktu, yang satu tidak perlu dikedepankan atau dikemudiankan dari yang lain. Begitu pentingnya asas-asas tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa asas-asas itu merupakan jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan pelayanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas itu tidak dijalankan dengan baik penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling akan tersendat-sendat atau bahkan berhenti sama sekali. (Priyatno, 2004: 114-120)